Sebagian asatidz (guru-guru) di Madinah memang ulama2 salafy
(notabene bermadzhab Hambali), jadi tidak betul kalau salafy itu tidak
bermadzhab. Memang kalau dari ustadz2 salafy lokal di Indonesia
kebanyakan mengaku tidak bermadzhab, padahal ulama2 Salafy di Saudi
berpegang pada madzhab Hambali.
Begitupun berkaitan dengan taqlid, kebanyakan saudara2 kita
salafiyyin mengaku tidak taqlid, toh pada kenyataannya lebih suka
mengambil pendapat ‘alim ulama salafy dalam menyimpulkan atau memberikan
keputusan/fatwa yang tentu saja berlandaskan Al-Quran dan Sunnah, dimana
tetap saja harus taqlid pada ‘alim ulama tersebut.
Di masjid Nabawi sendiri (ma’had), rekan2 Salafiyyin juga masih
terkotak-kotak, walaupun belajar pada ulama yang sama, ada yang disebut
salafy yamani, salafy tablighi, dan lain-lain.
Alhamdulillaah, saudara2 kita pekerja da’wah hampir semuanya belajar
massa’il pada ulama2 salafy tersebut bertujuan untuk mengambil ilmu dan
ikram pada ulama2 tersebut, walaupun ada beberapa yang belum senang
terhadap “jamaah tabligh”.
Bahkan ulama salafy tersebut semakin hari semakin heran, kok majelis ilmunya lebih banyak didatangi orang2 tabligh ini. (biasanya kan terkenal tidak berilmu, jahil, menjauhi ulama dan lain-lain). Bahkan tidak sedikit santri “tabligh” yang berprestasi ketika belajar
pada ulama tersebut, mendapat rata-rata nilai 100 pada setiap ujiannya. Santri ini akhirnya sangat dikagumi oleh ulama salafy tersebut, bahkan dipuji-puji di depan majelisnya.
Alhamdulillah, di Arab Saudi sendiri, sudah hampir 80% ulama yang
mendukung terhadap usaha da’wah dan tabligh ini, beberapa ulama yang
belum mendukung disebabkan masih salah pengertian thd usaha da’wah ini,
sering memperoleh informasi yang tidak sesuai dari orang2 awam di
sekitarnya, seperti : orang tabligh itu menyembah kubur, aqidah sesat,
dan lain-lain.
Bahkan beberapa santri salafy lain diajak ke markaz da’wah di
Madinah, dilibatkan dalam musyawarah harian, diajak silaturrahim, mereka
semangat sekali. (Mereka tidak tahu kalau itu adalah markaz da’wah,
jika tahu mungkin tidak mau masuk atau hadir.)
Catatan bahwa jika salafiyyin bertemu dengan pekerja da’wah di
Madinah, mereka langsung kabur, tidak mau mendekat, senyum saja tidak
mau, apalagi berdiskusi.
Namun Alhamdulillah, dengan tidak membawa bendera “Jamaah Tabligh”,
mereka langsung dilibatkan dalam usaha da’wah, mereka sangat senang
sekali.
Salah satu santri pentolan salafy dari Jogja berkata, “Di Jogja,
markaz tabligh terletak di depan pesantren tempat saya berada, dan saya
termasuk orang yang paling menentang tabligh, tapi sekarang kok saya
jadi ikutan da’wah & tabligh!”
Bahkan ‘alim ulama rujukan salfiyyin seperti Syeikh Utsaimin
rahimahullaah, Syeikh Abu Bakar Al Jazairi pun mendukung santri2 dan
masyarakat umum untuk menyertai jama’ah ini, bukan untuk menjauhinya. Di
televisi2 Saudi pun sudah ramai dikabarkan.
Namun sayang, di Indonesia ini, apalagi di Internet, beberapa orang
saudara kita salafiyyin masih belum Allah beri kefahaman, sehingga
sampai saat ini masih mengambil pendapat2 lama yang tidak berkenan
terhadap usaha da’wah & tabligh.
That’s All.