Pacaran
adalah haram dalam Islam. Pacaran adalah budaya dan peradaban jahiliah yg
dilestarikan oleh orang-orang kafir negeri Barat dan lain kemudian diikuti
oleh sebagian umat Islam dgn dalih mengikuti perkembangan jaman dan
sebagai cara utk mencari dan memilih pasangan hidup. Syariat Islam yg
agung ini datang dari Rabb semesta alam Yang Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana dgn tujuan utk membimbing manusia meraih maslahat-maslahat
kehidupan dan menjauhkan mereka dari mafsadah-mafsadah yg akan merusak
dan menghancurkan kehidupan mereka sendiri. Ikhtilath pergaulan bebas
dan pacaran adl fitnah dan mafsadah bagi umat manusia secara umum dan
umat Islam secara khusus maka perkara tersebut tdk bisa ditolerir.
Bukankah kehancuran Bani Israil –bangsa yg terlaknat– berawal dari
fitnah wanita? Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لُعِنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُوْنَ. كَانُوا لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُوْنَ
“Telah terlaknat orang-orang kafir dari kalangan Bani Israil melalui lisan Nabi Dawud dan Nabi ‘Isa bin Maryam. Hal itu dikarenakan mereka bermaksiat dan melampaui batas. Adalah mereka tidak saling melarang dari kemungkaran yg mereka lakukan. Sangatlah jelek apa yang mereka lakukan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُوْنَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيْلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Sesungguh dunia itu manis dan hijau dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kalian sebagai khalifah di atas kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memerhatikan amalan kalian. maka berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan wanita karena sesungguhnya awal fitnah Bani Israil dari kaum wanita.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memperingatkan
umat utk berhati-hati dari fitnah wanita dgn sabda beliau:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلىَ الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku meninggalkan fitnah sepeninggalku yang lebih berbahaya terhadap kaum lelaki dari fitnah wanita.”
Maka pacaran berarti menjerumuskan diri dlm fitnah
yg menghancurkan dan menghinakan padahal semesti tiap orang memelihara
dan menjauhkan diri darinya. Hal itu krn dalam pacaran terdapat berbagai
kemungkaran dan pelanggaran syariat sebagai berikut:
1. Ikhtilath yaitu
bercampur baur antara lelaki dan wanita yg bukan mahram. Padahal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhkan umat dari ikhtilath
sekalipun dlm pelaksanaan shalat. Kaum wanita yang hadir pada shalat
berjamaah di Masjid Nabawi ditempatkan di bagian belakang masjid. Dan
seusai shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiam sejenak
tdk bergeser dari tempat agar kaum lelaki tetap di tempat dan tdk
beranjak meninggalkan masjid utk memberi kesempatan jamaah wanita
meninggalkan masjid terlebih dahulu sehingga tdk berpapasan dgn jamaah
lelaki. Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha
dlm Shahih Al-Bukhari. Begitu pula pada hari Ied kaum wanita disunnahkan
utk keluar ke mushalla menghadiri shalat Ied namun mereka ditempatkan
di mushalla bagian belakang jauh dari shaf kaum lelaki. Sehingga ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam usai menyampaikan khutbah
beliau perlu mendatangi shaf mereka utk memberikan khutbah khusus karena
mereka tdk mendengar khutbah tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh hadits
Jabir radhiyallahu ‘anhu dlm Shahih Muslim. Bahkan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ صُفُوْفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرِهَا، وَخَيْرُ صُفُوْفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Sebaik-baik shaf lelaki adalah shaf terdepan dan sejelek-jelek adalah shaf terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf terakhir dan sejelek-jelek adalah shaf terdepan.”
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah berkata: “Hal itu dikarenakan dekat shaf terdepan wanita
dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek dan jauh shaf
terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki sehingga merupakan shaf
terbaik. Apabila pada ibadah shalat yg disyariatkan secara berjamaah maka
bagaimana kira jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama dlm keadaan
dan suasana ibadah tentu seseorang lbh jauh dari perkara-perkara yg
berhubungan dgn syahwat. maka bagaimana sekira ikhtilath itu terjadi di
luar ibadah? Sedangkan Syaitan bergerak dlm tubuh Bani Adam begitu cepat
mengikuti peredaran darah.
Bukankah sangat ditakutkan terjadi fitnah
dan kerusakan besar karenanya?” Subhanallah. Padahal wanita para
shahabat keluar menghadiri shalat dlm keadaan berhijab syar’i dgn
menutup seluruh tubuh –karena seluruh tubuh wanita adalah aurat– sesuai
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dlm surat Al-Ahzab ayat 59 dan An-Nur
ayat 31 tanpa melakukan tabarruj krn Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang
mereka melakukan hal itu dlm surat Al-Ahzab ayat 33 juga tanpa memakai
wewangian berdasarkan larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dlm hadits Abu Hurairah yg diriwayatkan Ahmad Abu Dawud dan yg lain :
وَلْيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلاَتٌ
“Hendaklah mereka keluar tanpa memakai wewangian.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang siapa
saja dari mereka yg berbau harum karena terkena bakhur utk untuk hadir
shalat berjamaah sebagaimana dlm Shahih Muslim dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dlm surat
Al-Ahzab ayat 53:
وَإِذَا سَأَلْتُمُوْهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوْهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوْبِهِنَّ
“Dan jika kalian meminta suatu hajat kepada mereka maka mintalah dari balik hijab. Hal itu lbh bersih bagi kalbu kalian dan kalbu mereka.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan mereka berinteraksi sesuai
tuntutan hajat dari balik hijab dan tdk boleh masuk menemui mereka
secara langsung. Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Maka tdk
dibenarkan seseorang mengatakan bahwa lbh bersih dan lbh suci bagi para
shahabat dan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sedangkan bagi generasi-generasi setelah tidaklah demikian. Tidak
diragukan lagi bahwa generasi-generasi setelah shahabat justru lbh butuh
terhadap hijab dibandingkan para shahabat krn perbedaan yg sangat jauh
antara mereka dalam hal kekuatan iman dan ilmu. Juga krn persaksian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap para shahabat baik
lelaki maupun wanita termasuk istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sendiri bahwa mereka adalah generasi terbaik setelah para nabi
dan rasul sebagaimana diriwayatkan dlm Shahih Al-Bukhari dan Shahih
Muslim. Demikian pula dalil-dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan
berlaku suatu hukum secara umum meliputi seluruh umat dan tdk boleh
mengkhususkan utk pihak tertentu saja tanpa dalil.”
Pada saat yg sama
ikhtilath itu sendiri menjadi sebab yg menjerumuskan mereka utk
berpacaran sebagaimana fakta yg kita saksikan berupa akibat ikhtilath yg
terjadi di sekolah instansi-instansi pemerintah dan swasta atau
tempat-tempat yg lainnya. Wa ilallahil musytaka
2. Khalwat yaitu
berduaan lelaki dan wanita tanpa mahram. Padahal Rasululllah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ اْلأَنْصَارِ: أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Hati-hatilah kalian dari masuk menemui wanita.” Seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata: “Bagaimana pendapatmu dengan kerabat suami? ”maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Mereka adalah kebinasaan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Jangan sekali-kali salah seorang kalian berkhalwat dgn wanita kecuali bersama mahram.”
Hal itu karena tidaklah terjadi khalwat kecuali
Syaitan bersama kedua sebagai pihak ketiga sebagaimana dlm hadits Jabir
bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِامْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan sekali-kali dia berkhalwat dgn seorang wanita tanpa disertai mahram karena Syaitan akan menyertai keduanya.”
3. Berbagai bentuk perzinaan anggota tubuh yang disebutkan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu:
كُتِبَ عَلىَ ابْنِ آدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ: الْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَاْلأُذُنَانِ زِنَاهُمَا اْلاِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ، وَالْيَدُ زِنَاهُ الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهُ الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ أَوْ يُكَذِّبُهُ
“Telah ditulis bagi tiap Bani Adam bagian dari zina pasti dia akan melakukan kedua mata zina adalah memandang kedua telinga zina adalah mendengar lidah zina adalah berbicara tangan zina adalah memegang kaki zina adalah melangkah sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan.”
Hadits ini menunjukkan
bahwa memandang wanita yg tidak halal utk dipandang meskipun tanpa syahwat
adalah zina mata. Mendengar ucapan wanita dlm bentuk meni’mati adalah zina
telinga. Berbicara dgn wanita dlm bentuk meni’mati atau menggoda dan
merayu adalah zina lisan. Menyentuh wanita yg tdk dihalalkan utk disentuh
baik dgn memegang atau yg lain adalah zina tangan. Mengayunkan langkah
menuju wanita yg menarik hati atau menuju tempat perzinaan adalah zina
kaki. Sementara kalbu berkeinginan dan mengangan-angankan wanita yang
memikat maka itulah zina kalbu. Kemudian boleh jadi kemaluan mengikuti dgn
melakukan perzinaan yg berarti kemaluan telah membenarkan; atau dia
selamat dari zina kemaluan yang berarti kemaluan telah mendustakan.
Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً
“Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina sesungguh itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حِدِيْدٍ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Demi Allah sungguh jika kepala salah seorang dari kalian ditusuk dgn jarum dari besi maka itu lebih baik dari menyentuh wanita yang tidak halal baginya.”
Meskipun sentuhan
itu hanya sebatas berjabat tangan maka tetap tidak boleh. Aisyah
radhiyallahu ‘anha berkata:
وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُ رَسُوْلِ اللهِ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ غَيْرَ أَنَّهُ يُبَايِعُهُنَّ بِالْكَلاَمِ
“Tidak. Demi Allah tdk pernah sama sekali tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyentuh tangan wanita melainkan beliau membai’at mereka dgn ucapan .”
Demikian pula dgn pandangan Allah Subhanahu wa
Ta’ala telah berfirman dlm surat An-Nur ayat 31-30:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوْجَهُمْ – إِلَى قَوْلِهِ تَعَلَى – وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ ..
“Katakan kepada kaum mukminin hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka –hingga firman-Nya- Dan katakan pula kepada kaum mukminat hendaklah mereka menjaga pandangan serta kemaluan mereka .”
Dalam Shahih Muslim
dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma dia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرِ الْفَجْأَةِ؟ فَقَالَ: اصْرِفْ بَصَرَكَ
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yg tiba-tiba ? maka beliau bersabda: ‘Palingkan pandanganmu’.”
Adapun suara dan ucapan wanita pada asal
bukanlah aurat yg terlarang. Namun tdk boleh bagi seorang wanita
bersuara dan berbicara lbh dari tuntutan hajat dan tdk boleh melembutkan
suara. Demikian juga dgn isi pembicaraan tdk boleh berupa
perkara-perkara yg membangkitkan syahwat dan mengundang fitnah. Karena
bila demikian maka suara dan ucapan menjadi aurat dan fitnah yg terlarang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوْفًا
“Maka janganlah kalian berbicara dengan suara yg lembut sehingga lelaki yg memiliki penyakit dalam kalbu menjadi tergoda dan ucapkanlah perkataan yg ma’ruf .”
Adalah para wanita datang menemui Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan di sekitar beliau hadir para shahabat lalu wanita
itu berbicara kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan kepentingan dan para shahabat ikut mendengarkan. Tapi
mereka tdk berbicara lbh dari tuntutan hajat dan tanpa melembutkan
suara. Dengan demikian jelaslah bahwa pacaran bukanlah alternatif yg
ditolerir dlm Islam utk mencari dan memilih pasangan hidup. Menjadi
jelas pula bahwa tdk boleh mengungkapkan perasaan sayang atau cinta
kepada calon istri selama belum resmi menjadi istri. Baik ungkapan itu
secara langsung atau lewat telepon ataupun melalui surat. Karena saling
mengungkapkan perasaan cinta dan sayang adl hubungan asmara yg
mengandung makna pacaran yg akan menyeret ke dlm fitnah. Demikian pula
hal berkunjung ke rumah calon istri atau wanita yg ingin dilamar dan
bergaul dengan dlm rangka saling mengenal karakter dan sifat
masing-masing krn perbuatan seperti ini juga mengandung makna pacaran yang
akan menyeret ke dalam fitnah. Wallahul musta’an .
Adapun cara yg
ditunjukkan oleh syariat utk mengenal wanita yg hendak dilamar adalah dgn
mencari keterangan tentang yg bersangkutan melalui seseorang yg mengenal
baik tentang biografi karakter sifat atau hal lain yg dibutuhkan utk
diketahui demi maslahat pernikahan. Bisa pula dgn cara meminta
keterangan kepada wanita itu sendiri melalui perantaraan seseorang
seperti istri teman atau yg lainnya. Dan pihak yg dimintai keterangan
berkewajiban utk menjawab seobyektif mungkin meskipun harus membuka aib
wanita tersebut karena ini bukan termasuk dlm kategori ghibah yg tercela.
Hal ini termasuk dari enam perkara yg dikecualikan dari ghibah meskipun
menyebutkan aib seseorang. Demikian pula sebalik dgn pihak wanita yg
berkepentingan utk mengenal lelaki yg berhasrat utk meminang dapat
menempuh cara yg sama. Dalil yg menunjukkan hal ini adl hadits Fathimah
bintu Qais ketika dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm
lalu dia minta nasehat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
maka beliau bersabda:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
“Adapun Abu Jahm maka dia adalah lelaki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundak . Adapun Mu’awiyah dia adalah lelaki miskin yang tidak memiliki harta. Menikahlah dgn Usamah bin Zaid.”
Para ulama juga
menyatakan boleh berbicara secara langsung dgn calon istri yg dilamar
sesuai dgn tuntunan hajat dan maslahat. Akan tetapi tentu tanpa khalwat
dan dari balik hijab. Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dlm Asy-Syarhul Mumti’
berkata: “Boleh berbicara dgn calon istri yg dilamar wajib dibatasi dgn
syarat tdk membangkitkan syahwat atau tanpa disertai dgn meni’mati
percakapan tersebut. Jika hal itu terjadi maka hukum haram krn tiap orang
wajib menghindar dan menjauh dari fitnah.” Perkara ini diistilahkan dgn
ta’aruf. Adapun terkait dgn hal-hal yg lbh spesifik yaitu organ tubuh maka
cara yg diajarkan adalah dgn melakukan nazhor yaitu melihat wanita yg
hendak dilamar. Nazhor memiliki aturan-aturan dan
persyaratan-persyaratan yg membutuhkan pembahasan khusus. Wallahu
a’lam.