Usianya ketika itu belum lagi genap 20 tahun. Namun Rasulullah telah menunjuk pemuda gagah berani ini menjadi panglima perang. Padahal ketika itu masih banyak sahabat dan pemimpin yang jauh lebih senior dan lebih berpengalaman dari pemuda tersebut. Yang bakal dihadapinyapun bukan main-main, pasukan Rum ! Pasukan yang dikenal dunia amat kuat dan tak terkalahkan.
Namun sebelum sampai di tujuan, Rasulullah memerintahkan panglima dan pasukannya agar berhenti dahulu di Balqa’ dan Qal’atut Daarum dekat Gazzah yang sudah masuk wilayah kekuasaan Rum, untuk menunggu perintah selanjutnya. Akan tetapi perintah tersebut tak kunjung datang karena ternyata Rasulullah saw jatuh sakit. Dengan penuh kesabaran sang Panglima muda mengumumkan pasukannya untuk tetap siap di tempat, menunggu hingga keadaan Rasulullah membaik.
Beberapa hari berlalu. Tidak ada tanda-tanda bahwa keadaan Rasulullah bakal membaik.Sang Panglima muda mulai merasa was-was. Ia sangat khawatir tidak akan pernah bersua lagi dengan Rasulullah. Akhirnya ia memutuskan pasukannya untuk kembali. Sekencang mungkin ia memacu kudanya kembali ke Madinah.
Nyaris ia terlambat. Karena beberapa menit setelah kedatangannya dengan sangat hati-hati malaikat Izrail mencabut nyawa Rasulullah saw. Pemimpin yang amat dicintai sekaligus dihormatinya itupun kembali ke pangkuan-Nya. Ya Rasulullah saw telah menghembuskan nafas terakhirnya. Para sahabat dan seluruh umat muslim dilanda rasa duka yang amat mendalam. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un …
Bahkan Umar bin Khattab ra, pemimpin senior yang dikenal garang itupun sempat terguncang. Bagaikan anak ayam kehilangan indung, ia meraung bahwa Rasulullah tidak mungkin tega meninggalkan mereka. Untung Abu Bakar ra segera mengingatkan bahwa betapapun Rasulullah adalah manusia biasa, yang pada waktunya pasti akan dipanggil-Nya.
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?… “(QS-Ali IMran (3):144).
Sang panglima belia tertunduk lesu. Dengan menahan duka yang amat dalam ia memberikan penghormatan terakhirnya. Waktu terus bergulir. Tidak ada waktu untuk terus berduka. Dakwah harus terus berlanjut. Beberapa waktu kemudian Abu Bakar, khalifah pertama yang diangkat begitu Rasulullah wafat, memerintahkan sang pemuda untuk melanjutkan tugas yang sempat tertunda.
Tetapi sekelompok kaum Anshar berupaya menangguhkan pemberangkatan pasukan. Mereka meminta Umar bin Khattab membicarakannya dengan Khalifah Abu Bakar. Mereka berkata “Jika khalifah tetap berkeras hendak meneruskan pengiriman pasukan sebagaimana dikehendakinya kami mengusulkan panglima pasukan yang masih muda remaja ditukar dengan tokoh yang lebih tua dan berpengalaman.”
Namun apa tanggapan sang khalifah mendengar ucapan Umar, “ Hai putra Khattab! Rasulullah telah mengangkat Usamah. Engkau tahu itu. Kini engkau menyuruhku membatalkan putusan Rasululllah. Demi Allah tidak ada cara begitu!”.
Menyadari kekhilafannya, Umarpun terdiam. Akhirnya berangkatlah pasukan dibawah pimpinan sang panglima muda sesuai petunjuk Rasulullah dahulu. Khalifah Abu Bakar turut mengantar keberangkatan pasukan dengan berjalan kaki di sisi sang panglima yang menunggang kuda. Hal ini rupanya membuat sang panglima muda merasa risih : “Wahai Khalifah Rasulullah! Silakan anda naik kendaraan. Biarlah saya turun dan berjalan kaki. ” Abu Bakar menjawab : “Demi Allah! jangan turun! Demi Allah! Aku tidak hendak naik kendaraan! Biarlah kakiku kotor demi mengantarmu berjuang fisabilillah! Aku titipkan padamu agamamu, kesetiaanmu dan kesudahan perjuanganmu kepada Allah. Aku berwasiat kepadamu laksanakan sebaik-baiknya segala perintah Rasulullah kepadamu!”.“Jika engkau setuju biarlah Umar tinggal bersamaku. Izinkanlah dia tinggal untuk membantuku”. Demikianlah Abu Bakar melepas pasukannya
Dengan gagah dan tegar sang panglimapun berangkat memimpin pasukan tentaranya. Segala perintah Rasulullah kepadanya dilaksanakan sebaik-baiknya. Tiba di Balqa’ dan Qal’atud Daarum, seperti perintah Rasulullah dahulu, sang panglima berhenti dan memerintahkan tentaranya untuk berkemah. Kehebatan Rum dapat dihapuskannya dari hati kaum muslimin. Lalu dibentangkannya jalan raya di hadapan mereka bagi penaklukan Syam dan Mesir.
Pasukan yang dipimpinnya berhasil kembali dari medan perang dengan kemenangan gemilang. Mereka membawa harta rampasan perang yang banyak, melebihi perkiraan yang diduga orang. Sehingga orang mengatakan “Belum pernah terjadi suatu pasukan bertempur kembali dari medan tempur dengan selamat, utuh dan berhasil membawa harta rampasan sebanyak yang dibawa pasukan ini.”
Siapakah pemuda 20 tahun gagah perkasa yang mendapat kepercayaan begitu tinggi dari Rasulullah ini??
Itulah Usamah bin Zaid, putra Zaid bin Haritsah, bekas budak yang pernah dijadikan anak angkat oleh Rasulullah sebelum Al-Quran melarangnya. Ketika itu Zaid bahkan belum memeluk Islam.
“ Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Ahzab (33):5).
Selanjutnya Zaid menjadi salah seorang anggota keluarga dalam rumah tangga Rasulullah sekaligus sahabat baik dan tempat mempercayakan segala rahasia. Zaid sempat menikah dengan Zainab binti Jahsy ra yang kemudian menjadi salah satu Umirul Mukminin setelah keduanya bercerai. Pernikahan dan perceraian keduanya ini sarat dengan hikmah yang diabadikan ayat-ayat Al-Quran. ( baca : http://vienmuhadi.com/2009/08/23/anak-angkat-dan-kedudukannya-dalam-islam/ )
Usamah lahir 7 tahun sebelum hijrah, yaitu pada tahun 615 H. Ia lahir pada saat Rasulullah sedang susah karena tindakan kaum Quraisy yang tidak hanya selalu menyakitinya namun terlebih lagi karena menyakiti para sahabat. Seorang pembawa berita mengabarkan : “ Ummu Aiman melahirkan seorang bayi laki-laki.” Wajah Rasulullah seketika berseri saking gembiranya. Beliau menyambut berita tersebut dengan suka cita.
Selanjutnya Rasulullah memperlakukan Usamah bagaikan cucu sendiri. Maka para sahabat juga menyayanginya. Bayi yang sangat beruntung itu mereka panggil “Al-Hibb wa Ibnil Hibb”, karena apapun yang disukai Rasulullah juga mereka sukai. Bila Rasulullah bergembira mereka pun turut bergembira.
Begitu sayangnya Rasulullah kepada Usamah. Pada suatu kali Usamah tersandung pintu sehingga keningnya luka dan berdarah. Rasulullah meminta Aisyah ra agar membersihkan darah dari luka Usamah tetapi tidak mampu melakukannya. Karena itu Rasulullah berdiri mendapatkan Usamah lalu beliau isap darah yang keluar dari lukanya dan ludahkan. Sesudah itu beliau bujuk Usamah dengan kata-kata manis yang menyenangkan hingga hati Usamah merasa tenteram kembali.
Sejak meningkat remaja, sifat dan pekerti Usamah yang mulia sudah terlihat. Selain cerdik, pintar dan bijaksana, ia juga takwa dan wara. Ia senantiasa menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Itu sebabnya kasih sayang Rasulullah terhadap dirinya makin hari makin bertambah besar.
Suatu ketika Hakim bin Hazam seorang pemimpin Quraisy menghadiahkan pakaian mahal kepada Rasulullah. Hakam membeli pakaian itu di Yaman dengan harga 50 dinar emas dari Yazan seorang pembesar Yaman. Rasulullah enggan menerima hadiah dari Hakam sebab ketika itu dia masih musyrik. Maka pakaian itu dibeli oleh beliau dan hanya dipakainya sekali ketika hari Jumat. Pakaian itu kemudian diberikan kepada Usamah. Selanjutnya Usamah senantiasa memakainya pagi dan petang hari.
Ketika Perang Uhud terjadi, beserta serombongan anak-anak sebaya putra-putra para sahabat, Usamah datang ke hadapan Rasulullah saw. Mereka ingin turut jihad fi sabilillah. Sebagian memang diterima namun sebagian lain ditolak karena usia mereka masih sangat muda. Usamah termasuk kelompok anak yang tidak diterima. Karena itu Usamah pulang sambil menangis. Dia sangat sedih karena tidak diperkenankan turut berperang dibawah bendera Rasulullah.
Dalam Perang Khandaq, Usamah kembali datang bersama kawan-kawan remaja putra para sahabat. Usamah berdiri tegap di hadapan Rasulullah supaya tampak lebih tinggi dengan harapan Rasulullah memperkenankannya berperang. Rasulullah terharu melihat kesungguhan hati Usamah. Karenanya beliau mengizinkannya pergi berperang sebagai pasukan pembawa anak panah. Ketika itu Usamah baru berusia lima belas tahun.
Ketika terjadi Perang Hunain tentara muslimin terdesak sehingga barisannya menjadi kacau balau. Tetapi bersama Abbas Sufyan bin Harits dan enam orang lainnya dari para sahabat yang mulia Usamah tetap bertahan. Dengah kelompok kecil inilah Rasulullah akhirnya berhasil membalikkan keadaan dari kekalahan menjadi kemenangan. Kaum muslimin yang semula lari dari kejaran kaum musyrikinpun berhasil diselamatkan.
Dalam Perang Mu’tah Usamah turut berperang di bawah komando ayahnya Zaid bin Haritsah. Ketika itu umurnya kira-kira delapan belas tahun. Usamah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tatkala ayahnya tewas di medan tempur sebagai syuhada. Tetapi Usamah tidak takut dan tidak pula mundur. Bahkan ia terus bertempur dengan gigih di bawah komando Ja’far bin Abi Thalib hingga Ja’far syahid di hadapan matanya pula. Usamah menyerbu di bawah komando Abdullah bin Rawahah hingga pahlawan ini gugur pula menyusul kedua sahabat yang telah syahid.
Selanjutnya komando dipegang oleh Khalid bin Walid. Usamah bertempur di bawah komando Khalid. Dengan jumlah tentara yg tinggal sedikit kaum muslimin akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman tentara Rum. Seusai peperangan Usamah kembali ke Madinah dengan menyerahkan kematian ayahnya kepada Allah swt.
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, sang khalifah pernah diprotes oleh putranya sendiri, Abdullah bin Umar karena dianggap melebihkan jatah Usamah dari jatah Abdullah sebagai putra Khalifah. “Wahai ayah, ayah menjatahkan untuk Usamah empat ribu sedangkan kepadaku hanya tiga ribu. Padahal jasa bapaknya tidak lebih banyak dari jasa ayah sendiri. Begitu pula pribadi Usamah, agaknya tidak ada keistimewaannya dibanding putramu sendiri ! ”.
Jawab Khalifah Umar : “Wah, jauh sekali! Bapaknya lebih disayangi Rasulullah daripada bapakmu. Dan pribadinya lebih disayangi Rasulullah daripada dirimu.” Mendengar keterangan ayahnya Abdullah bin Umarpun akhirnya rela menerima jatah lebih sedikit dari jatah Usamah.
Apabila bertemu dengan Usamah Umar menyapa dgn ucapan“Marhaban bi amiri!” . Jika ada orang yang heran dengan sapaan tersebut Umar menjelaskan “Rasulullah pernah mengangkat Usamah menjadi komandan saya.”
Wallahu a’lam bishshawab.
Pau – France, 30 April 2010.
Vien AM.
Sumber : Shuwar min Hayaatis Shahabah Dr. Abdur Rahman Ra’fat Basya Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia