Mereka berkata, khurujnya ahli dakwah selama 3 hari, 40 hari atau 4
bulan adalah bidah, sebab nabi saw dan para shohabatnya tidak pernah
melakukannya, para tabiin dan juga para imam???
Khuruj 3 hari, 40 hari dan 4 bulan
Entah apa yang terjadi pada manusia hari ini, para penuduh yang
berkata bahwa khuruj fi sabilillah itu bidah, nampaknya lebih menyukai
kondisi manusia yang tetap dalam kelalaian dan kemaksiatan serta jauh
dari ketaatan, daripada berbongdong-bondongnya manusia bertaubat dan
khuruj untuk mengishlah diri mereka serta tutut mendakwahkan agama pada
manusia????
Dan senadainya seorang ahli maksiat berubah menjadi taat itu tidak
diterima oleh mereka, sebab (menurut tanggapan mereka) pelaku bidah itu
tidak dapat diharapakan taubatnya, berdasarkan hadits nabi saw “
Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam perkara (agama) kami ini
sesuatu yang bukan darinya, maka dia tertolak” (bukhari :III, kitab
shulh, Ibnu Majah:1/7), berarti segala ketaatan orang tersebut sebagai
hasil khurujnya atau melalui khuruj, sehingga ia dapat mengingglkan
dosa-dosa besar dan berbagai kemaksiatan sertakerusakan adalah tertolak
disisi mereka, sebab mereka menganggap segala sesuatu yang dibuat untuk
sesuatu yang batil itu adalah batil.
Demikianlah tuduhan mereka kepada ahli dakwah dan tabligh serta
orang-orang yang telah berubah menjadi baik dengan perantara dakwah dan
khuruj fi sabilillah. Mereka menolak taubatnya para pelacur, penzina,
koruptor, pencuri, pemabuk dan sebagainya, yeng telah bertaubat melalui
usaha dakwah hanya karena mereka itu pernah khuruj bersama jamaah
tabligh…
Syaikh aiman abu syadzi katakan, “ Inilah yang terjadi, mereka para
pendengki menganggap baik para pelaku maksiat, yang diharapkan dapat
bertaubat. Sebaliknya, mereka menjelekkan dakwah dan amal-amal yuang
menyertainya yang dapat mendatangkan hidayah, hanya karena tuduhan;
bahwa penentuan waktu 3 hari, 40 hari dan 4 bulan adalah bidah, karena
sesuatu yang dilakukan untuk kebatilan adalah batil, dan barangsiapa
yang menciptakan sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini , yang
bukan darinya, maka dia tertolak.
Bidah secara khusus bermakna telah keluar dari aturan yang telah
dibuat oleh Dzat pembuat syariat, yaitu Allah SWT. Dengan ketentuan
seperti ini , maka segala sesuatu yang jelas dan dilakukan untuk
berhubungan dengan agama atau tidak keluar dari aturan syariat, tidak
termasuk bidah.
Lalu apakah dakwah ilallah yang bertujuan untuk membawa manusia ke
dalam syurga atas dasar kasih sayang dan berharap agar manusia terhindar
dari neraka serta murka Alloh, itu keluar dari syariat Alloh SWTdan
Rasul-Nya???
Pasti tidak! Alloh dengan tegas telah memerintahkan Nabi SAW untuk
berdakwah, yaitu dengan firman-Nya., “Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu
dengan hikmah dan Mau’idzah hasanah” (An-Nahl-125)
Perintah diatas juga berlaku untuk umat ini, sebab kalimat itu
merupakan perintah yang muta’addi (merembet) yang ditujukan kepada umat
sekaligus Rasul-Nya yang mulia. Hal ini diperjelas oleh firman Alloh
Ta’ala, “ Katakalanlah (wahai Muhamaad), ini (dakwah) adalah jalan-Ku.
Aku mengajak kepada Alloh menurut cara-Ku dan orang-orang yang
mengikuti-Ku . Dan Maha Suci Alloh, dan aku bukan sebagian dari kaum
Musyrikin” (Yusuf:108) dan Firman Alloh, “Dan hendaklah dari kalian ada
segolongan umat yang mengajak kebaikan dan memerintahkan kepada yang
ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Dan merekalah orang-orang yang
beruntung.” (Ali-Imran: 104)
Dan nabi SAW pun telah memerintahkan berdakwah kepada seluruh umatnya
dengan sabdanya, “sampaikanlah kalian dariku walaupun satu ayat.” Dan
sabda beliau, : “Hendaklah yang hadir dari kalian menyampaikan kepada yang
tidak hadir.”
Jika demikian, lalu mengapa ahli dakwah dicela? Apalagi memvonis mereka sebagai ahli bidah????
Dinatara mereka ada yang berkata, bahwa masalahnya adalah; mengapa
harus 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan?? Pembatasan waktu inilah yang
menjadikan khuruj disebut bidah…
Kami menjawab, Apakah masalah pembatasan waktu ini tidak sesuai
menurut dugaan kalian, bahkan kalian menganggapnya bidah dan tertolak,
maka kami menjawabnya demikian;
Terdapat banyak ucapan alim ulama dan hadits-hadits shohih yang
mengesahkan pembatasan dan pengkhususan waktu-waktu tertentu untuk
melaksanakan kewajiban syari. Dan penjelasan akan hal itu adalah pada
bab berikut ini (nazhrah ilmiyah fi ahli tabligh wad dakwah:1/41-42)
Pembatasan dan Pengkhususan Bilangan
Syaikh Aiman Abu Syadi selanjutnya berkata, Mari kita memperhatikannya menurut ilmu Ushul Fiqih;
Kami tidak menerima seandainya bilangan-bilangan ini disebut bermakna
pembatasan, sebab masalah itu masuk dalam kaidah MAFHUM ‘ADAD
(pengertian bilangan). Dan menurut jumhur ahli ushul fiqih, pengertian
bilangan bukanlah hujjah secara substansi. Dan tidak ada konotasi
pemahaman untuk bilangan, serta tidak bermakna peringkasan atas jumlah
tersebut.
Definisi Mafhum ‘adad adalah ; Penunjukan lafadz yang diqaidi
(disyariatkan) dengan suatu bilangan untuk menafikan suatu hukum yang
lebih atau kurang, atau untuk menetapkan suatu opertentangan hukum yang
diqoyyid (disyariatkan) dengan suatu bilangan ketika tidak adanya
realisasi bilangan ini dengan dikurangkan atau ditambahkan.
Apabila suatu hukum dikhususkan dengan bilangan tertentu dan dibatasi
dengannya, seperti firman Alloh SWT; “…..maka deralah mereka (yang
menuduh itu) 80 kali dera.” (an-Nur:4). Maka bilangan 80 ini tidak
berarti menafikan hukum selain bilangan 80 tersebut, baik hukum yang
lain itu bertambah atau berkurang dari hukum yang telah dibatasi oleh
bilangan tadi.
Definisi ini dibuat oleh Imam Al-Baidawi ra, Imam Al-Haramain, Abu
Bakr Al-Bakilani, Imam Al-Amandi, dan mayoritas madzab Imam Hanafi.
Mereka berargumentasi bahwa setiap bilangan , meskipun hakikatnya
berbeda, namun tidak mengharuskan perbedaan dalam hukum-hukum
penggabungan (isytirak). Bilangan-bilangan yang berbeda dalam satu hukum
itu tidak terlarang.
Selama permasalahannya adalah demikian, maka pengkhususan hukum
dengan bilangan, tidak mewajibkan hukum tersebut dinafikkan dari
bilangan lainnya, sehingga lafadz tersebut menunjukkan kepada yang
lainnya.
Mari kita sesuaikan pendapat para ulama tersebut dengan beberapa hadits nabi SAW. Sebagai contoh:
Contoh 1: Imam An-Nawawi di dalam Riyadhush Sholihin menyampaikan
wasiat yang disampaikan oleh para imam terhadap para pencari ilmu.
Wasiat tersebut diawali oleh imam Adz-Dzahabi dalam bab At-Taubah. Dari
Abu hurairah ra, aku mendengar rasulullah saw bersabda, “Demi Alloh,
sesungguhnya aku memohon ampun (beristighfar) kepada Alloh dan
bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih daripada tujuh puluh kali”
(shohih bukhori:VII/83, Musnad imam ahmad:II/341)
Imam Adz-Dzahabi pun menyampaikan dari Argharbin Yasar Al-Muzani ra,
Rasulullah saw bersabda, “ Wahai manusia, bertobatlah kalian kepada
Alloh dan beristighfarlah kalian kepadaNya, karena Aku berstighfar dalam
sehari 100 kali” (musnad imam ahmad:iv/211).
Saya berkata, didalam hadits pertama disebutkan bahwa nabi saw
beristighfar 70 kali dan didalam hadits yang lain disebutkan 100 kali.
Manakah dari kedua hadits ini yang dimaksud oleh Nabi SAW?? Apakah kedua
perintah hadits ini dapat digabungkan dan diamalkan?? Apakah kedua
hadits ini saling bertentangan satu sama lainnya??
Jawabannya, Pasti tidak bertentangan..
Maksud istighfar dalam kedua hadits tersebut adalah memperbanyak
istighfar dan menghimbau untuk bertaubat dan kembali ke jalan Alloh
Taala. Tidak ada pertentangan dan tidak ada perbedaan diantara kedua
hadits tersebut, sebab perintah istighfar dalam kedua hadits tersebut
tidak dibatasi oleh substansi bilangan 100 atau 70 kali. Siapa yang
menginginkan lebih daripada jumlah tersebut, itu lebih baik dan
diterima. Dan barangsiapa yang istighfarnya tidak sampai 100 atau 70
kali, iapun tidak berdosa dan tidak mengapa, sebab kedua jumlah ini
hanyalah perintah mandubah dan mustahabah (disukai), yang menjadikan
pelakunya terpuji dan tidak tercela bagi yang meninggalkannya..
Para pensyarah Riyadhush Sholihin, dalam Nuzhatul Muttaqin berkata, “
Hadits ini dan yang sebelumnya menunjukkan bahwa tujuan dalam
hadits-hadits tersebut adalah untuk memperbanyak istighfar dan bersegera
dalam bertaubat. Sementara penyebutan bilangan didalam hadits ini tidak
bermaksud membatasi jumlah, namun justru memperbanyak jumlah.”
(Nuzhatul Muttaqin:1/33)
Contoh ke 2: Imam bukhori ra meriwatkan sebuah hadits dari Abu
hurairah ra, Nabi Saw bersabda, “ Tanda-tanda orang munafik itu ada
tiga, yaitu: Apabila berbicara ia bohong; Apabila berjanji ia ingkari;
Apabila dipercaya dia berkhiatan” (shohih bukhori:1/15, muslim:1/44)
Lalu imam bukhori menyebutkan pula hadits datri Abdullah bin Amr ra,
sesungguhnya nabi saw bersabda,” Empat tanda, barangsiapa memiliki
keempat tanda ini, berarti ia seoarang munafik tulen. Dan barangsiapa
memiliki salah satu tanda dari empat tanda tersebut berarti ia memiliki
sebagian dari sifat munafik hingga ia meninggalkannya, yaitu Apabila
dipercaya ia berkhianat, Apabila berbicara ia berdusta, Apabila berjanji
ia mengingkari, Apabila berdebat ia berbuat jahat” (shohih Bukhori:
1/15, muslim:1/43)
Imam an nawawi rah menyebutkan kedua hadits ini didalam Riyadhush Sholihin, bab Menepati janji dan melaksankan janji.
Pada hadits yang pertama, Rasulullah saw menyebutkan tanda-tanda
orang munafik ada 3. Sedangkan pada hadits yang kedua disebutkan ada 4
tanda.
Jadi manakah yang dimaksud oleh Rasulullah SAW?? Dan siapakan munafik
yang nyata kemunafikannya?? Apakah dengan 3 tanda ataukan dengan 4
tanda?? Seandainya tanda-tanda orang munafik ini terbatas dan teringkas
dalam 3 atau 4 tanda, maka mengapa nabi saw mengkhutbahi umatnya
demikian?? Apakah penjelasan tanda-tanda orang munafik itu terlambat
dari waktu yang sesuai???
Jawabnya, pasti tidak demikian.
Kita tidak menafikan kedua hadits tersebut. Dan tidak ada
pertentangan diantara keduanya. Para Pensyarah Riyadhush Shalihin
berkata, “ Dalam hadits pertama, orang munafik memiliki 3 tanda, dan
dalam hadits kedua disebutkan 4 tanda, tidak ada pertentangan diatara
keduanya, sebab mafhum adad tidak bermakna meringkas dan bukan suatu
hujjah.” (nuzhatul Muttaqin:1/568)
Allamah Ibnu Allan Rah dalam pembahasan hadits mengenai tanda-tanda
orang munafik, berkata, “Tidak ada pertentangan antara sabda nabi saw
mengenai tanda-tanda orang munafik yang empat dan sabda beliau yang
sebelumnya, bahwa tanda-tanda orang munafik ada tiga. Sebab, suatu yang
satu memiliki banyak tanda. Setiap tanda dapat diketahui dengan sebuah
karakter. Dan dapat terjadi sebuah tanda itu adalah sesuatu yang satu,
atau terkadang sesuatu yang banyak.”
Imam At-thibby rah, berkata. “ Kadangkala tanda-tanda itu disebutkan
sebagian dan kadangkala disebutkan semuanya, atau disebutkan
mayoritasnya.”
Imam Az-Zarkasyi rah berkata, sesungguhnya pengkhusussan dengan
bilangan tidak menunjukkan bertambah atai berkurangnya suatu bilangan
(Dalilul Falihin:III/163-164)
Maksudnya tidak menunjukkan penolakan hukum yang dikhususkan dengan
bilangan itu, baik bertambah atau berkurangnya bilangan tersebut.
Contoh ke 3: Imam muslim meriwayatkan hadits dari aisyah rha,
rasulullah saw bersabda, “tiada seorang mayit yang disholati oleh kaum
muslimin yang mencapai jumlah 100 orang yang semuanya mensyafaatinya,
kecuali pada hari kiamat mereka akan mensyafaatinya.” (shohih
muslim-Misykatul Mashobih, no 1661)
Lalu beliau juga menybutkan sebuah hadits Ibnu abbas ra,
“sesungguhnya seorang putranya meninggal dunia di Qudaid atau di Usfan,
lalu ia berkata, Ya Kuraib!! Lihatlah orang-orang yang datang untuk
mensholati mayit dan hitunglah! Kuraib berkata, lalu aku keluar dan
tiba-tiba orangsudah berkumpul. Akupun menghitungnya, lalu aku
kukabarkan kepada Ibnu abbas, lalu dia berkata, “ Apakah kamu berkta
mereka 40 orang?” Kuraib menjawab, “Ya”. Ibnu abbas berkata,
“Keluarkanlah mayitnya! Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda, “ Tidak ada seorang pria muslim yang meninggal dunia, lalu
jenazahnya disholati oleh 40 orang laki-laki yang tidak menyekutukan
Alloh dengan apapun, kecuali Alloh akan memberi mereka syafaat untuk
mayit. “ (Shohih muslim-misykatul mashobih, no.1660).
Imam an nawawi rah dalam riyadhush sholihin, bab Disukai memperbanyak
orang yang sholat atas jenazah dan menjadikan shaf mereka menjadi 3
atau lebih, juga menyebutkan hadits tersebut.
Murtsid bin abdillah al yazani berkata, Malik bin Hubairah ra,
apabila mensholati jenazah, dan ia menganggap jumlahnya sedikit, maka ia
membaginya menjadi 3 shaf, lalu ia berkata, Rasulullah saw bersabda,
Apabila seorang mayit disholati oleh 2 shaf, maka mayit tersebut wajib
masuk syurga. “(Abu dawud, Tirmidzi-Kanzul Ummal. No. 42265)
Imam an nawawi rah dalam membahas hadits nabi saw tersebut
menyatakan, “Tiada seorang mayit yang dihsolati oleh umat muslim yang
mencapai seratus orang, yang semuanya mensyafaatinya, kecuali mereka
mensyafaatinya (pada hari kiamat).”
Dan hadits, “Tidak seorangpun yang meninggal dunia, lalu jenazahnya
disholati oleh 40 orang laki-laki yang tidak menyekutukan Alloh dengan
apapun, kecuali Alloh akan mensyafaati mereka untuk mayit tersebut.”
Dan dalam hadits lain disebutkan, “Tiga (3) shaf.” Qodhi iyadh rah
berkata, “ KOnon hadits-hadits itu turun sebagai jawaban atas
orang-orang yang bertanya mengenai mayit, lalu setiap pertanyaan dijawab
dengan hadits-hadits tersebut.” (syarah shohih muslim:VII/17)
Demikian pendapat Qodhi Iyadh rah, sehingga mungkin saja Nabi saw
mengabarkan penerimaan syaffat 100 orang, lalu mengabarkan penerimaan
syafaat 40 orang, lalu hanya 3 shaf, meskpin jumlahnya berkurang.
Mungkin juga akan dikatakan bahwa ini adalah mafhum adad yang tidak
dapat dijadikan hujah bilangan tertentu menurut jumhur ulama ushul.
Dengan hasits adanya penerimaan syafaat 100 orang, maka tidak ada
pengharusan syafaat hanya diterima dengan 100 orang yang mensholatinya,
dan menolak syafaat yang lebih rendah darinya. Demikian juga jumlah 40
orang dan 3 shaff. Dengan demikian, semua hadits ini dapat diamalkan dan
syafaat tentu bisa didapatkan dengan kedua jumlah yang paling sedikity,
yaitu 3 shaff dan 40 orang.
Allamah ibnu allan menjelaskan , “Tidak ada pertentangan antara
khabar (hadits) ini dengan khabar sebelumnya, sebab mahfum ‘adad bukan
sebagai hujah, menurut pendapat yang shohih, sebab Alloh mengabarkan
kepada Nabi saw dengan cukupnya jumlah seratus orang yang mensholati
mayit, lalu karunia ini ditambah oleh Alloh Ta’ala dengan mengabarkannya
cukup akan mendapatkan syafaat terhadap mayit dengan orang yang
mensholatinya sejumlah 40 orang. Wallahu a’lam (Dalilul falihiin, syarah
riyadhush sholihin: III/416)
Di dalam nuzhatul muttaqin, para pensyarah berkata, “hadits ini
menunjukkan istihbab yaitu disunnahkannya menjadikan 3 shaf atau lebih
bagi orang –orang yang mensholati jenazah. Meskpiun jumlahnya sedikit,
tetapi mereka terlihat banyaknya dalam penerimaan mereka oleh Alloh swt
dan permohonan syafaat untuk saudara mereka. Tidak ada pertentangan
antara hadits-hadits ini, baik hadits yang menentukan 100 orang, 40
orang, dan 3 shaff, sebab ‘adad (bilangan) tidak memiliki konotasi.
Sedangkan tujuannya adalah al katsrah (banyak).” (Nuzhatul
Muttaqin:I/407).
Pendapat ini sama dengan perkataan alim ulama ushul fikih. Menurut
pendapat yang shohih, bahwa pengertian bilangan bukan merupakan dalil
ketetapan dan tidak bermakna pembatasan.
Lalu apakah masuk akal, tuduhan orang yang mencela dan menganggap
bahwa ahli dakwah dan tabligh telah membatasi dakwah mereka dengan
hitungan hari-hari tertentu dan khusus, seperti 3 hari, atau 40 hari,
dan seterusnya…..???
Padahal 3 hari, 40 hari, atau 4 bulan itu bukan hujjah dan tidak bermakna pembatasan dan peringkasan dalam kewajiban dakwah.
Hal ini dikuatkan oleh perkataan para ahli dakwah itu sendiri yang
mutawatir, bahwa bilangan hari-hari tersebut hanya untuk mempermudah
tertib waktu yang digunakan oleh para ahli dakwah dalam melaksanakan
aktivitas dakwahnya..
Waktu-waktu itu hanyalah untuk kemudahan tertib, bukan sebagai
pembatasan. Siapa yang ingin keluar di jalan Alloh Ta’ala sehari, maka
tidak ada jeleknya, bahkan terpuji. Dan barangsiapa keluar dijalan Alloh
4 hari atau 5 hari, maka tidak ada dosa baginya. Bahkan pada dasarnya,
semua waktu itu adalah milik Alloh Ta’ala, agamaNya, dan dakwah
Rasul-Nya.
Hanya karena kelemahan para jamaah dakwah tersebut, mereka
mendahulukan waktu-waktu tersebut, karena waktu-waktu tersebut adalah
waktu yang paling sedikit diatara yang sedikit. Siapa yang ingin
meluangkan waktunya lebih daripada waktu-waktu tersebut, maka pintu
dakwah tetap terbuka..
Bahkan di dalam Alquran, waktu untuk bersungguh-sungguh di dalam
dakwah, tidak kami temukan hitungan waktu yang sedikit ini, seperti 3
hari, 40 hari, atau 4 bulan. Yang kami temukan justru hitungan bilangan
950 tahun, siang dan malam, yaitu waktu dakwahnya nabi Nuh as.
Konsep inilah yang diamalkan dan dijadikan pegangan oleh para ahli
dakwah dan tabligh. Berapa waktu dan cara apapun yang dilaksanakan oleh
pelakunya untuk kepentingan dakwah, itu dapat diterima dan terpuji,
serta sangat disyukuri, baik sejam ataupun dua jam, satu atau dua hari,
sebulan, dua bulan, tiga bulan ataupun empat bulan.
Apabila ahli dakwah dan tabligh memberi semnagat tentang fadhilah
khuruj fi sabilillah selama 3 hari, 40 hari, 4 bulan, maka
bilangan-bilangan tersebut tidak menunjukkan penafikan hukum, bila
khuruj (dakwah) dilakukan tidak dengan waktu-waktu tersebut. Baik waktu
itu melebihi 3 hari, dari 40 hari, ataupun 4 bulan, ataupun kurang dari
waktu-waktu tersebut.
Dengan demikian, -menurut konsep ini-, setiap jumlah bilangan hari ( 3
hari, 40 hari, 4 bulan) yang disebutkan oleh para ahli dakwah atau yang
tidak disebutkan oleh mereka di dalam tertib waktu-waktu tertentu untuk
berdakwah di jalan Alloh, tidak berarti menafikkan fadhilah dan hukum
bilangan-bilangan yang selainnya, baik yang bertambah atau berkurang.
Apabila ada yang keluar untuk berdakwah selama 2 hari, maka ia tetap
akan medapatkan fadhilah berdakwah dan pahalanya. Apabila ia keluar 38
hari sebagai ganti 40 hari, maka ia tetap akan mendapatkan pahal dan
balasan Alloh, karena ia merupakan anugerah Alloh yang diberikan kepada
orang yang Dia kehendaki..
Setiap waktu itu bukan bermakna pembatasan, sebab mahfum ‘adad bukanlah hujjah dan tidak bermakna peringkasan.
Selanjutnya Imam Al –Izz bin Abdissalam di dalam Qowaa’idil Ahkam
memberi isyarat dengan ucapannya tentang bidah-bidah wajibah,
diantaranya yaitu:
Sesuatu yang kewajibannya tidak sempurna kecuali dengannya, maka
sesuatu itu hukumnya wajib. Dan semua perantara yang dengannya
Kalamullah dan sabda Rasulullah saw dapat dipahami, maka hukumnya wajib.
Seperti, sibuk mempelajari ilmu nahwu dan perkara lainnya yang tidak
sempurna kewajibannya kecuali dengannya.
Termasuk didalamnya pengkhususan waktu untuk mempelajari ilmu agama,
sehingga dengan pengkhususan tersebut, dapat diketahui apa maksud Alloh
dan RasulNya, dan termasuk juga pengkhususan waktu untuk berdakwah dan
menyebarkan risalah Nabi saw. Dakwah ilallah serta menyampaikan risalah
adalah kewajiban yang keutamaannya telah disepakati oleh kaum muslimin.
Demikian juga berbagai wasilah (perantara) yang mendorong untuk
keberhasilan sesuatu misalnya melalui penentuan waktu khusus untuk
menjalankan kewajiban, dimana sempurnanya kewajiban tersebutbergantung
pada waktu-waktu tersebut dan secara akal tidak dianggap berhasil
kecuali dengan pengkhusussan waktu-waktu tersebut.
Waktu-waktu itu termasuk sebagai wasilah (perantara) untuk menunaikan
kewajiban yang tidak mngkin dapat dilaksanakan kecuali dengannya.
Misalnya mempelajari ilmu fiqih adalah wajib, karena melalui ilmu fiqih,
hukum-hukum syariat dapat diketahui, dan mempelajari fiqih tidak
mungkin dapat dilaksanakan kecuali dengan mengkhususkan waktu-waktu
tertentu untuk mendapatkannya.
Dalam hal ini, hukum wasilah sama dengan hukum tujuan. Artinya,
wasilah-wasilah itu dihukumi wajib, karena tujuan kewajiban tadi tidak
dapat sempurna kecuali dengannya.
Oleh sebab itu, tidak ada satu madrasah atau perguruan tinggi
islampun, kecuali mengkhususkan waktu untuk mempelajari ilmu syariat
yang bermacam-macam itu. Kami menemukan bahwa di fakultas-fakultas
syariah di al azhar asy syarif di kairo mesir, menentukan 4 tahun untuk
mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lurus. Demikian pula di
fakultas-fakultas Ushuludin, dan fakultas –fakultas dakwah di
universitas islam di madinah munawarah, dan perguruan-perguruan tinggi
islam yang tersebar di seluruh dunia islam.
Kami tidak mengira, jika ada orang yang mengaku sudah mempelajari
ilmu-ilmu agama , lalu ia mengaku bahwa pengkhususan waktu itu adalah
bidah dan sesat, karena tidak dilakukan pada masa rasulullah
saw..Astaghfirullah..
Selanjutnya Syaikh aiman abu syadi berkata mengenai ini, “Disebut
bidah wajibah, yaitu suatu yang dibahas oleh kaidah-kaidah wajib dan
dalil-dalilnya dari syariat, seperti pembukuan alquran dan ilmu-ilmu
syariat yang dikhawatirkan punah. Dan sesungguhnya tabligh bagi generasi
setelah generasi kami adalah wajib secara ijma’ ulama dan membiarkannya
adalah haram secara ijma’. Contoh semacam ini tidak pantas
diperdebatkan kewajibannya…
Imam Al-Izz bin abdisallam menyatakan bahwa menyampaikan risaklah
kepda generasi penerus adalah wajib secara ijma’. Dan kewajiban ini
tidak sempurna, kecuali melalui wasilah hyang dapat mendatangkan,
mendorong, dan menunjukkan kepadanya..
Apabila tabligh tidak sempurna kecuali dengan meluangkan waktu
tertentu dan cara tertentu, maka waktu dan cara tersebut adalah wasilah
yang wajib untuk meraih kewajiban yang mesti dilaksanakan sesuai dengan
kadar kemampuannya..
Sesungguhnya bertabligh itu sah dengan cara dan wasilah yang telah
disepakati dan diketahui oleh para ahli dakwah selama cara dan wasilah
itu masih dalam kerangka syariat..
Dalam hal ini tidak ada batasannya, sebagaimana imam syatibi rah
telah berdalil didalam al ihtisham dengan berkata, “Perintah
menyampaikan syariat, tidak ada pertentangan didalamnya, karena Alloh
berfirman,
“Wahai rasul, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu” (Al maidah:67)
Umatnyapun diwajibkan untuk menyampaikan risalah tersebut. Didalam
hadits disebutkan, ‘Hendaklah yang hadir diantara kalian menyampaikan
kepada yang tidak hadir.” (shohih Bukhori, no.6717).
Dan syaikh aiman abu syadi mengungkapan pernyataan imam syatibi rah
tentang penggunaan cara dalam mentablighkan risalah tanpa membatasinya,
beliau mengesahkan setiap wasilah yang berbeda-beda yang mendatangkan
tujuan. Seperti menghafal, berceramah, dan menulis. Lalu beliau
memperluas setiap pernyataannya dengan kalimatnya sendiri,”dan
lain-lain”. Artinya kedangkala wasilah-wasilah tabligh selain yang
disebutkan oleh beliau adalah sah.
Dengan demikian, termasuk dalam bab ini adalah khuruj fi sabilillah
dan segala penyampaian risalah yang telah dilaksanakan oleh para dai,
sepanjang wasilah itu sesuai dengan syar’I, nash, dan maslahat umum,
seperti mengarang buku dakwah, siaran radio dan televisi islam,
kaset-kaset dakwah, yang semua itu tidak pernah ditemukan pda masa
dahulu..
Demikian pula jika adanya wasilah tertentu dalah hal ini menentukan
waktu untuk mencapai kepada yang wajib, maka tidaklah mengapa,
sebagaimana ditentukan waktu-waktu khusus untuk mempelajari alquran dan
hadits, maka waktu-waktu tersebut, baik lama maupun sebentar,
berhari-hari, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun , semua itu termasuk
dalam wasilah kepada yang wajib; termasuk hukum meluangkan waktu untuk
khuruj fi sabilillah demi meningkatkan keimanan dan kesholihan..
Kami memohon kepada Alloh, agar memperlihatkan kepada kami kebenaran
sebagai kebaran, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat
mengikutinya. Dan Memperlihatkan kepada kami kebatilan sebagai
kebatilan, dan mengaruniakan taufik kepada kami untuk dapat menjauhinya
dengan anugerah dan rahmat-Nya..Amin ya rabbal ‘alamin. (Nazhrah ilmiah
fi ahli tabligh wad dakwah:1/45-59).
Penentuan waktu untuk tujuan syar’i termasuk sunnah
Syaikh Aiman abu syadi bekrta, “selanjutnya kami menyampaikan bahwa
apabila kami menerima bantahan tentang tahdid (pembatasan) dalam mahfum
adad—yaitu khuruj 3 hari, 40 hari, 4 bulan, dsb—ini sebagai pembatasan
waktu, maka siapakah diantara alim ulama muktabar yang mengatakan bahwa
pembatasan waktu untuk melakukan kewajiban-kewajiban syari itu adalah
bidah sehingga harus ditinggalkan?????
Berikut ini adalah dalil yang terdapat di dalam hadits shahih
Bukhori, kitab ilmu, Bab: Nabi saw memelihara (waktu) kepada mereka
untuk memberi mau’izhah dan ilmu agar mereka tidak bubar”
Ibnu Mas’ud ra, meriwayatkan, “ Nabi saw mengatur (waktu) untuk kami
dalam memberi nasehat di (sela) hari-harinya untuk menghindari kejenuhan
terhadap kami” (shohih bukhro:I/27, msulim dalam bab taubat)
Ibnu hajar rah menulis, “Ungkapan; Nabi saw memelihara waktu untuk
mereka, “lafdz At-Takhawul berarti memelihara waktu untu mereka, Al
mau’izhah berarti nasehat dan peringatan, lafadz al ilmu diathofkan
kepada lafadz Al Mau’izhah sehignga termasuk dalam bab ‘ Mengikutkan
lafazh yang umum kepada yang khusus’, karena Al ilmu mengandung
Mau’izhah dan yang lainnya. Diathafkan demikian, karena Mau’izhah
terdapat dalam nash hadits dan lafazh al ilmu disebutkan sebagai dasar
pengambilan hukum” (fathul bari:I/195)
Perhatikanlah pendapat Imam hafizh Ibnu hajar rah, bahwa Al Mau’izhah
adalah nasehat dan peringatan. Dan kita ketahui bahwa tidak ada
aktivitas dakwah kecuali berupa nasehat dan peringatan terhadap manusia
tentang ajaran-ajaran agama mereka.
Lalu apakah nasehat dan peringatan termasuk dalam aktivitas dakwah
atau tidak?? Bagaimana Nabi saw memelihara waktu untuk mereka dalam
waktu tertentu dan terbatas, sehingga mereka tidak jenuh apabila
dilakukan sehari-hari..
Dan perhatikalanlah, ucapan hafizh Ibnu Hajar rah, bahwa lafazh Al
ilmu dikikutkan kepada lafazh Al Mau’izhah, termasuk dalam bab
‘Menngikutkan lafazh umum kepada yang khusus’, karena al ilmu mengandung
mau’izhah dan yang lainnya..
Dalil imam bukhori dengan judul hadits diatas tentang penentuan
waktu, tidak dikhsusukan pada mau’izhah saja. Lafazh al ilmu bermakna
umum, maka keumuman lafazh al ilmu ini memuat semua cabangnya, seperti
fiqih, hadits, tafsir, dakwah, ushul, fiqih, nahwu, ulumul lughoh,
ulumul quran dan lainya masih banyak.
Dalam mendengar dan mempelajari semua cabang ilmu tersebut,
diperbolehkan mengadakan pembatasan dan penetuan waktu, baik berupa
harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, sebagaimana yang sudah berjalan
di setiap perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia
islam..
Mereka membatasi 4 atau 5 tahun untuk strata satu (S1), 4 tahun untuk
mempelajari berbagai cabang ilmu lainnya, ada yang lebih dari 5 tahun
dan ada yang kurang dari itu, bergantung pada aturan yang berlaku di
masing-masing perguruan. Dan seluruh umat sepakat, bahwa hal tersebut
adalah baik, bahkan mereka berlomba-lomba untuk menambah Dauroh ilmu
tertentu dan mendukung system pengaturan tersebut..
Belum ada seorangpun, –sejak didirikannya system tersebut hingga
sekarang ini–, yang mengklaim bahwa hal tersebut adalah bidah atau
sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi saw dan para sahabat ra
dengan membatasi 4 tahun untuk mempelajari hadits, dakwah, ushul fikih,
fiqih, dan lain-lain..Seandainya ada seseorang yang mengatakan hal itu
bidah, tentu orang-orang akan menertawakannya..Bahkan melalui system
pengaturan waktu tersebut banyak yang telah tamat dari
pesantren-pensantren., sekolah-sekolah, dan perguruan-perguruan tinggi,
para imam agama..
Hafizh ibnu hajar rah berkata, “Hadits ini menunjukkan istihbab
(disukai) meliburkan rutinitas amal sholeh untuk menghindari kebosanan.
Rutinitas yang diperintahkan ada 2 macam. Pertama, ada kalanya setiap
hari, namun tanpa meletihkan. Kedua, ada kalanya sehari masuk dan sehari
libur untuk beristirahat, agar pada hari berikutnya dapat masuk dengan
semangat, dan ada kalanya libur sehari dalam sepekan bergantung pada
situasi..
Yang penting ktia perlu menjaga semangat agar tetap wujud. Sikap ibnu
mas’ud rhu ini menunjukkan bahwa ia mengikuti sikap nabi saw hingga
hari terakhir ia melihatnya. Hadits ini menunjukkan bahwa ia mengikuti
nabi saw dengan hanya melihat selang waktu antara mengamalkan dan
meninggalkan, diungkapkan olehnya dengan takhawwu, yang berarti menjaga
dan memelihara waktu. Pendapat kedua ini lebih jelas. “(Fathul
bari:I/196)
Syaikh aiman berkata, perhatikanlah pendapat imam besar ini, yang
menyatakan bahwa rutinitas amal sholeh terkadang dilakukan setiap hari
–sekiranya tidak melelahkan—dan terkadang sehari jalan dan sehari tidak,
dan terkadang sehari saja yang diliburkan dalam seminggu, bergantung
pada situasi dan kondisi masing-masing. Dan terkadang perlu libur dua
hari dalam seminggu, dua atau tiga hari dalam sebulan, bergantung pada
situasi dan kondisi masing-masing..
Demikianlah para ahli dakwah dan tabligh pun tidak membatasi 3 hari
dalam setiap bulan, kecuali untuk menjaga rutinitas dakwah yang sesuai
dengan masa, tempat, dan kondisi mereka sekarang ini..
Penjelasan imam ibnu hajar rah, bahwa ibnu mas’ud ra mungkin
mengambil sikap berdasarkan sikap nabi saw hingga hari terakhir ia
melihatnya. Ibnu mas’ud rahu mengikuti sikap nabi saw hanya dengan
melihat jeda waktu antara mengamlkan dan meninggalkan (takhawwul). Ia
mendunkung dan membatasi waktu untuk para shahabatnya yang biasa ia
nasehati, karena mengikuti cara nabi saw. Dan ia tidak mengganti dengan
nama hari dan tidak pula menyebutkan waktu yang telah digunakan oleh
nabi saw dengan para sahabatnya, namun ia berpendapat bahwa masalah ini
adalah luas, bergantung pada situasi , kondisi individu, dan zaman pada
saat itu..
Demkian pula yang dilakukan oleh para ahli dakwah, mereka mengikuti
metode nabi saw dalam menggunakan waktu yang mendukung untuk menasehati
dan meningkatkan diri mereka dan manusia. Mereka tidak membatasi bahwa
waktu-waktu tersebut adalah yang dilakukan oleh nabi saw, karena masalah
ini sangat luas yang dapat diatur sesuai dengan kondisi dan siatuasi
masing-masing individu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam ibnu
hajar al atsqolani rah.
Demikian pula yang dipahami dan diamalkan oleh Ibnu Mas’ud rhu.
Beliau tidak menjadikan kaedah dengan waktu yang telah dibatasi dan
digunakan oleh nabi saw, Karena masalah ini sangat luas” (Nazhrah ilmiah
fi ahli tabligh wad dakwah:I/60-65).
Sahabat Rhu membatasi waktu
Apakah pembatasan waktu tidak pernah dilakukan oleh sahabat ra?? Mari kita simak jawabannya:
Terdapat beberapa keterangan bahwa pasa sahabat ra pun mengadakan
pemabtasan waktu dalam hal-hal tertentu . Para imam hadits, diataranya
imam bukhrori telah membuat judu dalam kitab shohinya, bab: “Seorang
Ahli Ilmu Agama yang menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi
mau’izhah”
Di dalamnya terdapat hadits dari abi wail, ia berkata, “Dulu Abdullah
bin mas’ud memberi mauizhah untuk orang-orang setiap hari kamis”. Lalu
seoranglaki-laki berkata, Ya aba Abdurrahman, sungguh senang hatiku
apabila engkau memberi mauizhah kepada kami setiap hari.” Jawabnya,
:tidak , aku dilarang berbuat demikian, sungguh aku benci, bila aku
membuat kalian bosan..Dan sesungguhnya aku menjaga dan memelihara waktu
kalian dalam memberi mauizhah , sebagaimana nabi saw menjaga dan
memelihara waktu kami dalam menasehati untuk menghindari kebosanan kami”
(shohih bukhori:I/27)
Di dalam hadits ini terdapat pengkhususan hari kamis dari setiap
minggu untuk memberi nasehat dan (meningkatkan) iman. Di dalam hadits
ini juga terdapat pembolehan atas pemabtasan dan penetuan waktu dalam
rangka menasihati umat. Dan untuk mengerjakan semua cang ilmu, seperti :
fiqih, hadits, ilmu dakwah, tafsir, dan lain-lainnya, boleh dikiaskan
kepadanya, baik waktu yang dibatasi sehari, dua hari atau tiga hari..
Apabila kita mengenalisa judul bab atas hadits tersebut, sesungguhnya
ilmu yang disebutkan dalam judul hadits tersebut adalah umum,
bermacam-macam dan bercabang-cabang , memuat semua cabang ilmu, seperti
fiqih, hadits, tafsir, bahasam bayan, balaghoh, dakwah, ulumul quran,
usuhul fiqih, mauizhah dan lain sebagainya..dan semua cabang ilmu itu
sebagai obyek pembahsan judul hadits. Hal ini bermakna, boleh
mengkhususkan waktu-waktu tertentu utntuk semua cabang ilmu tersebut.
Dan seandainya kami memerinci lagi judul hadits tersebt berdasarkan
sifat umum jaudul hadits diatas, dengan salah satu cabang ilmu,
misalnya, fiqih, dan kami tulis judul tersebut demikian, ” Seseorang
ahli fiqih menjadikan hari-hari tertentu untuk memberikan pelajarannya”.
Apakah ada yang menentang judul tersebut?? Apakah ada yang menolak
perkataan kami itu????
Jawabnya , pasti tidak ada
Oleh sebab itu, setiap ahli ilmu dan para ahli fiqih memabtasi
waktu-waktu tertentu untuk murid-muridnya dalam mempelajari ilmu fiqih,
baik sehari dalam seminggu, sehingga dalam sebulan bertjumlah 4 hari,
atau dua hari dalam seminggu, sehingga sebluan menjadi delapan hari,
atau lebih banyak atau lebih sedikit dari waktu –waktu tersebut.
Tidak itu saja, sekarangpun seseorang dapat membatasi dengan
mengkhususkan hari-hari tertentu baik itu hari jumat, sabtu, ahad, atau
hari-hari lainnya. Dan itu juga dapat membatasi dan mengkhususkan waktu
yang akan digunakan, misalnya: anatara maghrib dan isya, atau setelah
isya, atau setelah ashar, dan sebagainya..
Selanjutnya dalam waktu yang terbatas ini, ia pun dapat lebih
mengkhususkan lagi waktu penggunaannya, yaitu sejam atau setengah jam
atau lebih atau berkurang dari waktu-waktu tersebut.
Pertanyaaanya adalah, “Apakah semua itu termasuk sunah atau bidah??????
Kami jawab dengan tegas bahwa semua itu termasuk sunah, tanpa ada
keraguan sedikitpun didalamnya, sebab hal tersbut telah dilakukan oleh
nabi saw danpara sahabat rhum, para tabiin, dan para imam, alim ulama
mujtahidin pada abad ke III, dan juga oleh orang-orang yang
mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mempelajari ilmu yang mereka
khususkan..
Dan apabila kami memberi judul, misalnya; “Seorang ahli hadits
menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi pelajarannya”. Apakah ada
yang menetang judul ini?? Apakah ada yang menuduhnya bidah??
Jawabnya; hal tersebut justru sunah yang harus diikuti bahkan
mempelajari hadits nabi saw adalah fardhu kifayah. Meskpiun hal tersebut
dilakukan dengan waktu-waktu terbatas dan khusus..
Apabila kami menuliskan judulnya, “Seorang ahli tafsir menjadikan
hari-hari tertentu untuk memberi mauizhah”. Apakah ada yang
menentangnya?? Jawabannya, tidak ada, bahkan hal ini disukai oleh setiap
orang, karena tafsir adalah cabang dari ilmu..
Demikianlah, karena alasan pengkhususan waktu tersebut adalah sesuai
dengan kehidupan manusia, sebagaimana pendapat alim ulama rah..
Dapat dibayangkan, apabila ada seorang ulama berkata kepada masyarakat;
Ulama: ”Wahai manusia, aku akan mengajarkan ilmu tafsir, insyaAlloh dalam minggu-minggu ini”. Lalu orang-orang yang hadir bertanya; “Waktunya kapan ya ustadz, agar kami bisa menghadirinya?”. Kemudian ulama tadi menjawab, “ Tidak, kami tidak membatasi waktu tertentu, karena ini bidah. Namun datanglah kalian dalam minggu-minggu ini, dengan ijin Allah swt pelajaran dan ceramah akan dimulai.”
Kemudian mereka datang pada hari sabtu, namun syeikh yang mulia tidak
datang. Mereka pun berkata di dalam hatinya, “Syaikh yang alim tidak
datang”
Syaikh tidak menentukan waktu belajarnya (karena beliau anggap
membatasi waktu tertentu adalah bidah). Dan sebaliknya ia datng pada
hari yang mereka tidak datang. Misalnya hari Jumat, maka ia tentu tidak
dapat menemukan mereka..
Syaikhpun berkata dalam hatinya, “Mereka itdak menyukai ilmu dan
tidak menghendaki pelajaran”. Syaikh mencela masyarakatnya, dan
masyarakatnya pun berbalik mencelanya. Kemudian syaikh berkata lagi,
“kalau begitu datanglah lagi dalam minggu-minggu ini untuk mendengarkan
pelajaran”. Lalu mereka bertanya, “Hari apa ya ustadz??”
Syaikh menjawab, “Kami tidak menentukan hari karena hal itu adalah
bidah, tetapi kalian datang saja…”. Mereka meminta kepastian dan
berkata” Jangan demikian, kami telah banyak kehilangan waktu,
tentukanlah waktunya atau pelajaran tidak usah diadakan.”
Perbincangan itu tidak akan berakhir, kecuali jika syaikh bersedia
menetukan waktu khusus untuk mereka, agar pelajaran bagi mereka dapat
terlaksanakan.
Apakah dakwah terkeluar dan bukan dari salah satu cabang ilmu?? Dan
apakah berlebih-lebihan , jika kami katakana bahwa dakwah adalah induk
semua jenis ilmu syari?? Dari dakwahlah ilmu menjadi bercabang-cabang,
dari dakwalah cabang-cabang ilmu dipelajari..
Dan kaum muslimin sejak masa nabi saw hingga sekarang rajin membuat
kelompok yang mempelajari metode dakwah, teknik, dan tujuan-tujuannya.
Inilah yang dipelajari oleh fakultas dakwah, universitas al azhar di
kairo mesir, fakultas dakwah di madinah al munawarah, dan masih banyak
di perguruan tinggi dunia islam lainnya..
Lalu sekarang menjadi aneh, jika judul dakwah secara khusus ditolak dan menerima yang lainnya??
Alloh berfirman, “Bahkan mereka mendustakan apa yang mereka belum
mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka
penjesalannya.” (Yunus:39)
Apabila ditanya, apakah mengkhususkan waktu-waktu untuk mempelajari
dakwah dan menyebarkannya kepada umat, sunah atau bidah?? InsyaAlloh
akan dijawab tanpa keraguan didalamnya, Yaitu Sunnah. Bahkan dakwah itu
sebagai kewajiban dan pengkhususan waktu untuk mempelajari dan
menyebarkan dakwah nabi saw itu dilakukan oleh sahabat ra, sebagaimana
disebutkan adanya judul dari shohih bukhrori..
Sesungguhnya para sahabat ra pun menentukan waktu untuk mencapai
tujuan-tujuan syariat. Dan dakwah tidak berbeda dengan judul-judul yang
disebutkan, seperti ilmu fiqih, hadits, tafsir, mau’izhah, dan
lain-lain. Sebagaimana pengkhususan waktu untuk mempelajari dan
menyebarkan cabang-cabang ilmu tersebut adalah sunnah—bukan bidah–, maka
demikian pula dakwah, karena semuanya memiliki satu tujuan umum, yaitu
mempelajari ilmu dan menyebarkannya.
Imam bukhori rah menetapkan bahwa penetapan waktu ini adalah jaiz
(boleh), karena tanpa mengadakan demikian, maka dapat mendatangkan
kesulitan. Padahal menuntut ilmu hukumnya wajib, tidak boleh
ditinggalkan.
Demikian pula dakwah, maka tidak ada cara keculai dengan menetukan
dan mengkhususkan waktunya, yaitu pada hari yang dapat dihadiri oleh
masyarakat, sehingga tidak menyulitkan mereka serta kehidapanya. Dan
tujuannyapun dapat tercapai.
Imam al kasymiri rah dalam faidhil bari, syarah shohih bukhori hal
170, dalam menjelaskan judul hadits ini, berkata: “ Dia (imam bukhori)
memaksudkan penentuan waktu seperti tidak disebut bidah.
Demi Alloh, demikianlah perasaan setiap orang yang khuruj untuk
berdakwah bersama ahli dakwah dengan waktu-waktu yang telah ditentukan.
Berbeda dengan dosa kesombongan yang merasuk di dalam hati. Ketenangan
inilah yang selalu kami lihat terhadapa orang-orang yang telah diberi
nikmat oleh Alloh SWT. Untuk menggunakan setiap tenaganya untuk khuruj
dan meluangkan waktunya untuk berkhidmat kepada agama Allah.
Namun tidak sedikit orang yang menentang, mencela dan mengkritik
mereka dalam masalah waktu-waktu mereka yang digunakan siang dan malam.
Mereka juga dengan seenaknya mengingkari hukum-hukum dan
kewajiban-kewajiban agama Alloh, dan dengan seenaknya menolak dengan
kekuatan mereka, padahal dibelakangnya mereka memiliki lembaran-lembaran
yang menghapus pahala amal mereka dan menyegel perkataaan mereka yang
jujur dan hak, bukan yang palsu dan dusta. (Nazhrah ilmiah fi ahli
tabligh wad dakwah:1/67-75)
Perkataan para ulama tabligh tentang penentuan hari
Penyusun kitab “kewajiban mengajak kepada kitab dan sunnah” berkata “
Aku bertanya kepada syaikh zainul abidin, “ Apa pendapat kalian tentang
khuruj 4 bulan dan 40 hari dalam setiap tahun?? Dan apa dalilnya??
Beliau menjawab, “ Hal ini sekedar untuk (memudahkan pelaksanaan)
tertib.”
Syaikh umar palanpuri di dalam penjelasannya disalah satu ijtima’
berkata, “ kami tidak menemukan didalam alquran dalil-dalil 4 bulan
setahun dan juga jamaah jalan kaki. Bahkan yang kami temukan adalah
Alloh telah membeli semua kehidupan dan harta kaum mukmin, dengan
demikian, Alloh telah memerintahkan kami agar keluar (khuruj) setahun
atau 4 bulan..Mengapa, yaitu agar kami membiasakan diri mengorbankan
harta dan diri di jalan Alloh.
Kemudian syaikh berkata, “ Baik, siapa yang siap khuruj fi sabilillah
40 hari??” lalu ada seorang pemuda berdiri, dan berkata, “ ya syaikh
kenapa hanya 40 hari??lalu syaikh menjawab, “Baik siapa yang siap 39
hari??” (sawanih syaikh Muhammad umar palanpuri: II/87).
Demikianlah pendapat jumhur ulama dan para ahli ushul fiqih, bahwa
pembatasan dan pengkhususan waktu untuk kepentingan agama tidaklah
bertentangan dengan syariat, sehingga tidak dapat dikatakan bidah.
Dan demikian pula ketetapan para ahli dakwah dan maksud penggunaan
waktu-waktu tersebut, Kami memohon kepada Alloh agar melapangkan dada
kami dan membangkitkan semangat kami, dan semoga syetan tidak menguasai
kami atas syariat yang jelas untuk ikut andil dalam pembahasan ini…
InsyaAlloh kesalahpahaman ini tidak akan bertambah lebar sehingga
tidak akan menghambat umat untuk bersungguh-sungguh dalam agama dan
dakwah..amin yaa rabbal alamin…
(Sumber: Kupas tuntas jamaah tabligh: II/ 5-27)