Tidak dapat dipungkiri bahwa contoh pemerintahan Islam yang terbaik adalah pada masa Madinah dibawah Rasulullah saw. Setelah itu masa kekhalifahan yang 4 yaitu Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra dan Ali bin Abu Thalib ra. Dan satu lagi mungkin Umar bin Abdul Azis yang sering disebut-sebut sebagai khalifah ke 5.
Pada masa itu, Rasulullah dan ke 4 sahabat itu benar-benar menjalankan dan memberlakukan aturan dan hukum sesuai dengan kehendak Sang Khalik. Dengan mencontoh dan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan, Al-Quran dijunjung tinggi, tidak hanya sebatas bacaan atau teori.
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS.Al-Ahzab(3):21).
Ketakwaan, akhlak dan prilaku mulia para khalifah, atas ridho Allah swt, mampu menjadikan negri yang mencakup seluruh semenanjung Arabia ( Saudi Arabia, Yaman, Oman, Qatar, Kuwait dan Dubai), bekas Persia ( Irak dan Iran), Syam ( Yordan, Syria, Lebanon dan Palestina) serta Mesir, sebuah masyarakat yang tunduk kepada hukum-hukum Islam.
Nafas toleransi, keadilan dan musyawarah amat terasa di negri tersebut. Berbagai kisah tentang para khalifah yang hidup sederhana itu tertulis dengan tinta emas, menjadi bukti sejarah yang sulit untuk dilupakan begitu saja.
Melalui Shirah Nabi atau Biografi Rasulullah banyak pelajaran yang dapat kita ambil. Diantaranya adalah bagaimana Rasulullah menyikapi perbedaan pendapat dengan musyawarah. Dengan sikap arif dan bijaksana Rasulullah rela mengganti keputusan yang telah diambil selama itu bukan perintah Allah dan dianggap lebih baik dan tepat.
” Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”. QS.Asy-Syua’ra(42):38).
Abu Bakar yang sebelum menjadi khalifah dikenal lembut namun setelah menjadi khalifah ternyata bisa keras dan tegas. Terbukti dari sikapnya yang tegas terhadap sekelompok Muslim yang menolak menunaikan zakat begitu Rasulullah wafat.
Sementara Umar bin Khattab yang sebelum memeluk Islam dikenal keras namun setelah menjadi khalifah berubah dratis menjadi lembut. Terbukti dengan kebiasaannya menyamar menjadi rakyat biasa dan berkeliling mengunjungi orang-orang miskin sekaligus membantu kesulitan mereka.
Tetapi ketegasannya tetap muncul pada saat-saat dibutuhkan. Terlihat jelas dalam kisahnya tentang sebuah tulang ayam yang dikirimkannya kepada Amr bin Ash, pemimpin Mesir kala itu. Ini adalah peringatan agar Amr tidak bertindak semena-mena terhadap nenek Yahudi yang mengadukan kepada sang khalifah bahwa ia digusur karena tanah miliknya itu akan dijadikan masjid oleh pihak pemerintah.
Sedangkan Ustman bin Affan, menantu Rasulullah yang terpilih menjadi khalifah berkat musyawarah, dikenal karena kelembutan dan kesabarannya. Oleh karenanya setiap hari Jumat ia membebaskan seorang budak dengan harga yang sangat tinggi.
Sementara Ali bin Abu Thalib, suami Fatimah binti Muhammad saw, dikenal sebagai orang yang zuhud, yang memilih hidup dalam kesederhaan sekalipun beliau adalah seorang khalifah. Pakaiannya hanyalah kain kasar yang sekedar cukup melindungi beliau dari panasnya matahari dan dinginnya udara ketika musim dingin tiba.
Ingat pula bagaimana Umar bin Abdul Azis yang meminta istrinya agar mengembalikan gelang emas berlian hadiah dari ayahnya ketika ia menjabat sebagai khalifah kepada Baitul Maal. Baitul Maal adalah sebuah lembaga kekayaan negara.
Dari contoh-contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya Demokrasi itu sudah ada sejak awal Islam. Namun Demokrasi tersebut tidak sama dengan demokrasi yang sekarang sering digembar-gemborkan pihak Barat. Demokrasi dalam Islam bukan berarti kekuatan rakyat. ( Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang berarti Demos untuk kekuatan dan Cratos yang berarti rakyat).
Demokrasi dalam kacamata Islam adalah azas musyawarah. Siapa yang diajak musyawarah? Apakah semua orang ? Tidak ! Dasar pemikiran Islam adalah tunduk dan patuh itu hanya kepada Sang Khalik, Allah swt. Karena sebenarnya Dialah yang menjadikan seseorang itu menjadi pemimpin. Tanpa izin-Nya mustahil seseorang bisa mencapai puncak kepemimpinan. Maka orang-orang yang diajak musyawarahpun otomatis hanya orang-orang yang memahami arti Islam, yaitu orang-orang yang beriman dan tunduk pada-Nya. Itulah kaum Mukminin.
Sebaliknya, Allah swt telah menurunkan aturan dan persyaratan bagaimana memilih seorang pemimpin. Itu sebabnya sebagai rakyat biasa kita juga harus berhati-hati ketika memilih pimpinan. Karena kita sendirilah yang nantinya bakal merasakan dampak kepemimpinan seseorang. Bahkan dengan tegas Allah mengatakan bahwa orang yang memilih pemimpin yang mengutamakan kekafiran daripada keimanan adalah termasuk golongan orang yang zalim.
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu pemimpin-pemimpinmu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka pemimpin-pemimpinmu, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. (QS.At-Taubah(9):23).
Namun apa yang terjadi saat ini sungguh jauh dari apa yang telah dicontohkan Rasulullah dan para sahabat. Kaum Muslimin saat ini banyak yang tidak memperhatikan kriteria ketakwaan dan kesholehan yang ada dalam pribadi calon pemimpin yang dipilihnya. Kelihatannya standard dan cara berpikir barat yang cenderung mendewakan kehebatan akal telah merusak cara berpikir kaum Muslimin.
Lebih parah lagi, bila kekuatan materi alias kekayaan yang dijadikan patokan. Ataupun hubungan kekerabatan. Bahkan kekuatan militer alias kudeta ! Haus akan kekuatan dan kekuasaan tampaknya telah menjadi ’tren’ sebagian para pemimpin dunia Islam. Mereka lupa bahwa kekuatan dan kekuasaan itu hanyalah titipan dan cobaan yang tanggung jawabnya amatlah berat.
Inilah yang dikatakan Umar bin Abdul Azis sepulang dari pengangkatannya sebagai khalifah.
“Apa yang kau tangiskan?” tanya istri Umar. Umar mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jabatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang miskin, janda-janda yang banyak anaknya namun rezekinya sedikit, aku teringat akan para tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang tidak dapat menjawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah karena aku tahu, yang menjadi pembela mereka adalah Rasulullah saw’’. Mendengar itu istrinyapun turut meneteskan air mata.
Islam juga mengajarkan agar kaum Muslimin berdiri di atas kaki sendiri alias tidak bergantung kepada pihak lain apalagi kaum Kafirun. Ini bukan berarti kaum Muslimin disuruh membenci mereka. Allah memerintahkan hal tersebut karena dalam hati mereka sebenarnya menyimpan kebencian yang mendalam kepada Islam, disadari maupun tidak.
” Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata: “Kami beriman”; dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati”.(QS.Ali Imran(3):119).
Tentu saja hal ini amat berbahaya. Dapat dibayangkan apa yang dapat dilakukan seseorang apalagi musuh dalam selimut ketika kita memiliki hutang. Hutangnya tidak tanggung-tanggung pula, hutang negara . Hutang dimana rakyat, tanah air dan keimanan adalah jaminannya !! Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang yang berbuat demikian dengan azab yang benar-benar pedih. Dan Allah memasukkannya kepada golongan orang munafik !
”Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,(yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mu’min. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”.(QS.An-Nisa(4):138-139).
Pemimpin adalah penyayom, pelindung sekaligus contoh bagi rakyatnya. Amal ibadah seperti shalat, puasa dan zakat bila tidak diiringi perbuatan baik terhadap sesama adalah sia-sia. Rasulullah menyebutnya bangkrut. Mengapa ? Karena seseorang harus membayar perbuatan buruknya seperti mencaci, memfitnah dll dengan pahala amal ibadah yang diperbuatnya. Dan bila perbutan dzalim itu lebih besar dan banyak dari dapa pahala ibadahnya maka bangkrutlah ia.
Rasulullah bersabda: “Orang yang bangkrut ialah mereka yang datang di hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat tetapi sekaligus membawa (dosa) mencaci orang, memfitnah dan menganiaya serta menyiksa sesama semasa hidupnya” .
” … Dan kamu akan melihat orang-orang yang zalim ketika mereka melihat azab berkata: “Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?” Dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam keadaan tunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. …”. (QS.Asy-Syua’ra(42):44-45).
Bila mencaci, memfitnah, menganiaya dan menyiksa sesama manusia saja dilarang bagaimana pula dengan membunuh ?
“……barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya……”.(QS.Al-Maidah(5):32).
”Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih”.(QS.Asy-Syua’ra(42):42).
Bagaimana dengan orang-orang yang didzalimi ? Bolehkah mereka membela diri atau haruskah mereka takut dan tunduk kepada pemimpin yang dzalim? Berdosakah mereka? Apakah mereka juga harus menanggung dosa orang-orang yang ditakutinya itu?
”Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosapun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih”.(QS.Asy-Syua’ra(42):41-42).
Sebaliknya orang-orang tertindas yang tidak membela diri, membiarkan dirinya terdzalimi dan melihat kedzalimin terjadi di depan matanya tanpa berbuat apapun dan hatinyapun tidak mengutuknya maka neraka adalah tempat kembalinya.
” Barangsiapa diantaramu yang melihat kejelekan maka rubahlah dengan tangannya. Maka jika tidak sanggup maka rubahlah dengan perkataanya. Dan jika tidak sanggup rubahlah dengan hatinya, dan itulah yang paling lemah imannya”.(HR Bukhari-Muslim).
Dalam surat Ash-Shad ayat 59-64 Allah menceritakan percakapan yang terjadi antar penghuni neraka sebagai berikut :
(Dikatakan kepada mereka): “Ini adalah suatu rombongan (pengikut-pengikutmu) yang masuk berdesak-desak bersama kamu (ke neraka)”. (Berkata pemimpin-pemimpin mereka yang durhaka): “Tiadalah ucapan selamat datang kepada mereka karena sesungguhnya mereka akan masuk neraka”.
Pengikut-pengikut mereka menjawab: “Sebenarnya kamulah. Tiada ucapan selamat datang bagimu, karena kamulah yang menjerumuskan kami ke dalam azab, maka amat buruklah Jahannam itu sebagai tempat menetap”.
Mereka berkata (lagi): “Ya Tuhan kami; barang siapa yang menjerumuskan kami ke dalam azab ini maka tambahkanlah azab kepadanya dengan berlipat ganda di dalam neraka.”
……
Sesungguhnya yang demikian itu pasti terjadi, (yaitu) pertengkaran penghuni neraka”.
”Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan shalat. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu)”.(QS.Fathir(35):18).
Rasulullah juga bersabda bahwa sesama Muslim itu bersaudara. Oleh karenanya wajib bagi kita untuk mengingatkan saudaranya yang lalai ataupun sedang khilaf. Tidak boleh kita membiarkan saudara kita tersesat. Apalagi menunggu hingga orang lain ( non Muslim ) menegur bahkan menyerangnya!
Semoga apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini adalah cermin kesadaran kaum Muslimin dalam rangka menuju ketakwaaan. Rasanya sudah terlalu lama kita ini terbuai dalam gelimang hutang para pemimpin yang menggadaikan keimanan ini kepada kaum Kufar. Lupa bahwa suatu hari nanti ia harus mempertanggung-jawaban perbuatannya itu.
Wallahu’alam bish shawwab.